Selasa, 06 November 2012

Bupati Baru, Masalah Baru?

Tak masalah berganti Bupati setiap hari, asal permasalahan yang mendasar di Aceh Tengah, seperti air bersih, lalu lintas yang semakin (akan) memburuk, budaya Gayo, dan masalah lain yang menyangkut hidup orang banyak dapat diatasi. Asala sesuai dengan tujuan NKRI di Pembukaan UUD 1945, tak masalah bila Bupati terus berganti setiap saat.

http://aceh.tribunnews.com/2012/11/05/menyoal-legitimasi-pj-bupati-aceh-tengah
Menyoal Legitimasi Pj Bupati Aceh Tengah
Senin, 5 November 2012 09:17 WIB
POLEMIK seputar keabsahan Penjabat (Pj) Bupati Aceh Tengah, Ir Mohd Tanwier MM yang akrab dipanggil Baong, kian hangat diperbincangkan dalam beberapa pekan terakhir. Perdebatan pro-kontra seputar keabsahannya itu dimulai ketika yang bersangkutan tak lagi menduduki jabatan struktural Eselon II sebagai Staf Ahli Gubernur Aceh bidang Pemerintahan, karena telah diberhentikan oleh Gubernur Zaini Abdullah (Serambi, 13/10/2012). 

Di satu pihak ada yang menafsirkan bahwa setelah diangkat menjadi Pj Gubernur dan Pj Bupati/Wali Kota, maka yang bersangkutan tidak harus masih menjabat jabatan Eselon I bagi Pj Gubernur dan Eselon II bagi Pj Bupati/Wali Kota, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Aceh, A Hamid Zein. Sementera di pihak lain ada yang menyatakan bahwa setelah diangkat menjadi Pj, ia harus masih menduduki jabatan eselonnya, sebagaimana dipahami oleh Bardan Sahidi, Anggota DPRK Aceh Tengah dari Fraksi PKS. Bahkan, Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan ikut pula meramaikan polemik multitafsir mengenai jabatan Pj Bupati Aceh Tengah itu (Serambi, 13/10/2012).

 Awal polemik
Berdasarkan pemberitaan sebagaimana dimuat dalam media cetak tersebut menyebutkan bahwa seminggu setelah menduduki jabatan Eselon II sebagai Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Pemerintahan, Mohd Tanwier dilantik oleh Pj Gubernur Aceh Tarmizi A Karim sebagai Pj Bupati Aceh Tengah, dan posisi yang ditinggalkannya itu digantikan oleh M Alibasyah yang sebelumnya menjabat Pj Bupati Aceh Utara. Sejak saat itulah posisi Baong sebagai Pj Bupati Aceh Tengah menjadi polemik dan kerap diberitakan oleh beberapa media cetak di Aceh.

Yang menjadi polemik saat ini adalah syarat sebagaimana termaktub dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 132 ayat (1) huruf (b) yang mensyaratkan agar Pj Bupati “menduduki jabatan struktural Eselon II dengan Pangkat Golongan sekurang-kurangnya IV/b bagi Pj Bupati/Wali Kota”. Namun, ketentuan Pasal 132 ayat (1) huruf (b) tersebut tidak menyebutkan secara tegas mengenai ada tidaknya kewajiban bagi Pj Gubernur atau Pj Bupati/Wali Kota yang telah diangkat untuk melepaskan jabatan struktural eselon I atau II yang secara bersamaan sedang didudukinya.

Mengingat rumusan Pasal 132 ayat (1) huruf (b) tersebut bermakna multitafsir, kiranya penulis mencoba untuk mengkaji dan menafsirkan rumusan Pasal 132 ayat (1) tersebut dengan menggunakan 2 (dua) metode atau pendekatan, yaitu: Pertama, penafsiran hukum dengan menggunakan metode/pendekatan semantik-gramatikal dengan melibatkan pakar bahasa atau setidaknya kamus besar bahasa, dan; Kedua, penafsiran hukum dengan menggunakan metode/penafsiran secara sistematis.

Hemat penulis, Filosofi dari rumusan Pasal 132 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tersebut hakikatnya tidak menghendaki adanya rangkap jabatan dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan, dimana disatu sisi seseorang menduduki jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) yang bersifat karier/struktural (nonpolitis), namun di sisi yang lain dalam waktu bersamaan orang yang sama juga sedang menduduki jabatan Pj Gubernur maupun Bupati/Wali Kota yang bersifat politis (nonkarir/nonstruktural).

Ketidakinginan akan adanya rangkap jabatan sebagaimana yang diamanatkan dalam rumusan klausul Pasal 132 ayat (2) tersebut dapat dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan konsepsi penyelenggaraan pemerintahan yang ideal yang dikenal dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” atau “Asas Umum Pemerintahan yang layak” atau yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur.

 Konsekuensi hukum
Berdasarkan penafsiran hukum yang dilakukan secara sistematis tersebut di atas menunjukkan bahwa kemungkinan situasi yang muncul sebagai akibat dilakukannya penafsiran secara semantik-gramatikal, hemat penulis cenderung mengarah pada kemungkinan situasi yang pertama, yaitu bahwa syarat dan kriteria mengenai “menduduki jabatan struktural Eselon I bagi Pj Gubernur dan Eselon II bagi Pj Bupati/Wali Kota” yang dijadikan salah satu syarat dasar untuk dapat diangkat menjadi Pj Gubernur dan Pj Bupati/Wali Kota, mengandung situasi “tidak secara bersamaan melekat” dan “tidak berbanding lurus dengan masa waktu posisinya sebagai Pj Kepala Daerah”. Atau dengan kata lain bahwa syarat “menduduki jabatan..” tersebut hanya bersifat “terbatas” pada saat diangkatnya seseorang sebagai Penjabat (Pj) suatu Kepala Daerah.

Dengan demikian maka konsekuensi hukumnya adalah bahwa pada saat Mohd Tanwier diangkat sebagai Pj Bupati Aceh Tengah secara hukum yang bersangkutan tidak boleh secara bersamaan menduduki jabatan eselon II sebagai staf Ahli Gubernur Aceh karena melanggar Pasal 132 ayat (1) huruf b dan ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2005. Sebagai konsekuensi dilakukannya penafsiran hukum secara sistematis tersebut, sepatutnya Pj Gubernur Aceh ketika itu (Tarmizi A. Karim) menurut hukum wajib segera mengangkat pejabat baru untuk menduduki jabatan eselon II yang ditinggalkan oleh Mohd Tanwier.

Berdasarkan konsepsi penafsiran hukum yang dilakukan secara sistematis dan semantik tersebut menunjukkan bahwa tindakan yang diambil oleh Gubernur Zaini Abdullah yang memberhentikan Mohd Tanwier dari jabatan Eselon II sebagai Staf Ahli Gubernur Aceh, yang secara bersamaan masih sedang menjabat sebagai Pj Bupati Aceh Tengah, secara hukum sudah benar karena Gubernur sudah melakukan sesuatu yang memang sepatutnya dilakukan sebagaimana dikehendaki oleh hukum dan karenanya tindakan Gubernur tersebut bersifat konstitusinal.

Justru Gubernur Aceh akan melanggar hukum apabila tetap membiarkan Mohd Tanwier menduduki jabatan struktural eselon II sebagai Staf Ahli Gubernur Aceh bidang Pemerintahan yang secara bersamaan masih sedang menjabat sebagai Pj Bupati Aceh Tengah. Hal tersebut mengingat penafsiran hukum secara sistematis hakikatnya tidak menghendaki adanya rangkap jabatan sehingga karenanya wajib dilakukannya pelepasan jabatan struktural Eselon II yang sedang diduduki oleh Mohd Tanwier.

 Sudah benar
Atas dasar itu, maka jabatan Pj Bupati Aceh Tengah yang sedang diemban oleh Mohd Tanwier yang saat ini tidak lagi menduduki jabatan struktural Eselon II sebagai Staf Ahli Gubernur Aceh bidang Pemerintahan paskadiberhentikan oleh Gubernur Aceh, baik berdasarkan penafsiran hukum yang dilakukan secara semantik-gramatikal maupun secara sistematis sudah benar.

Hal tersebut mengingat sudah sepatutnya secara hukum seseorang yang sudah diangkat sebagai Pj Bupati Aceh Tengah wajib melepaskan jabatan Eselon II yang sedang didudukinya atau Pejabat yang telah mengangkatnya sebagai Pj Bupati Aceh Tengah, menunjuk pejabat baru untuk menduduki jabatan struktural Eselon II yang ditinggalkannya itu. Dengan demikian, Mohd Tanwier sebagai Pj Bupati Aceh Tengah saat ini memiliki legitimasi dan sah secara hukum.  

* Kurniawan, SH, LLM, Staf Pengajar (Dosen) Tetap Jurusan Hukum Tata Negara/Pemerintahan Daerah, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: kurniawanfh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar